Kamis, 16 Februari 2012

UNDANG-UNDANG TENTANG PANGAN

PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA
 
 
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 7 TAHUN 1996
TENTANG
PANGAN
  
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
 
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
 
Menimbang          :
 
a.     bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya
menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia dalam mewujudkan sumber daya
manusia yang berkualitas untuk melaksanakan pembangunan nasional;
 
b.      bahwa pangan yang aman, bermutu, bergizi, beragam, dan tersedia secara
cukup merupakan prasyarat utama yang harus dipenuhi dalam upaya
terselenggaranta suatu system pangan yang memberikan perlindungan bagi
kepentingan kesehatan serta makin berperan dalam meningkatkan
kemakmuran dan kesejahteraan rakyat;
 
c.       bahwa  pangan  sebagai komoditas dagang memerlukan dukungan sistem
perdagangan  pangan yang jujur dan bertanggung jawab sehingga tersedia
pangan yang terjangkau oleh daya beli masyarakat serta turut berperan
dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional;
 
d.      bahwa sehubungan dengan pertimbangan pada butir a, butir b, dan butir c,
serta untuk mewujudkan sistem  pengaturan, pembinaan dan pengawasan
yang efektif di bidang pangan, maka perlu dibentuk Undang-undang tentang
Pangan;
 
 
Mengingat          :
 
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 27 (2),  dan  Pasal 33 Undang-Undang
Dasar 1945;
 
 
Dengan persetujuan
 
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
 
MEMUSTUSKAN  :
Menetapkan       :
 
UNDANG-UNDANG TENTANG PANGAN
 
BAB  I
 
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1
 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
 1.     Pangan  adalah  segala  sesuatu  yang berasal dari sumber hayati dan air
baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukan sebagai makanan
atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lain  yang digunakan dalam proses
penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
 2.     Pangan  olahan  adalah  makanan dan minuman hasil proses dengan cara
atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan.
 3.     Sistem  pangan  adalah  segala sesuatu yang berhubungan dengan
pengaturan, pembinaan, dan atau pengawasan terhadap kegiatan atau
proses produksi pangan dan peredaran pangan sampai dengan siap
dikonsumsi manusia.
 4.     Keamanan pangan adalah kondisi daya upaya yang diperlukan untuk
mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda
lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membayakan kesehatan
manusia.
 5.    Produksi  pangan  adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan,
mengolah mebuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan
atau merubah untuk pangan.
 6.     Pengangkutan  pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka memindahkan pangan dari satu tempat ketempat lain dengan
cara atau sarana angkutan apa pun dalam rangka  produksi, peredaran, 
dan atau perdagangan pangan.
 7.     Peredaran  pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka penyaluran pangan pada masyarakat, baik untuk
diperdagangkan maupun tidak.
 8.     Peredaran  pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan
dalam rangka penjualan dan atau pembelian pangan, termasuk penawaran
untuk menjual panngan, dan kegiatan lain yang berkenaan dengan
pemindahtanganan pangan  dengan memperoleh  imbalan.
9.       Sanitasi  pangan  adalah upaya pencegahan terhadap kemungkinan
bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen
dalam makanan, minuman, peralatan, dan bangunan yang dapat merusak
pangan dan membahayakan manusia.
 10.   Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau
membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan
atau tidak.
 11.   Iradiasi pangan adalah metode penyinaran terhadap pangan, baik dengan
menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya
pembusukan dan kerusakan serta membebaskan panga dari jasad renik
patogen.
 12.   Rekayasa  genetika  pangan  adalah suatu proses yang melibatkan
pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain
yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru  yang mampu
menghasilkan produk pangan yang lebih unggul.
13.   Mutu  pangan  adalah  nilai  yang  ditentukan atas dasar kriteria keamanan
pangan, kandungan gizi, dan standar perdagangan terhadap bahan
makanan, dan minuman.
 14.   Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang
terdiri atas karbohidrat, protein,  lemak, vitamin, dan mineral serta
turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia.
 15.   Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk
gambar, tulisan, kombinasi keduannya,  atau bentuk lain yang disertakan
pada pangan, dimasukan ke dalam,  ditempelkan pada, atau merupakan
bagian kemasan pangan.
 16.  Iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan
dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan
berbagai cara untuk pemasaran dan atau perdagangan pangan.
17.   Ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga
yang tercemin dari tersedianya pangan  yang cukup, baik jumlah maupun
mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
 18.   Setiap  orang  adalah  orang  perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badan hokum maupun tidak.
   
Pasal 2
 Pembangunan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia
yang memberikan manfaat secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan
tidak bertentangan dengan keyakinan masyarakat.
  
Pasal 3
 Tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan pangan adalah :
 a.     tersedianya pangan yang memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan gizi
bagi kepentingan kesehatan manusia;
 b.     terciptanya perdagangan pangan yang jujur dan bertanggung jawab; dan 
c.      terwujudnya tingkat kecukupan  pangan dengan harga yang wajar dan
terjangkau sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
 
 
BAB  II
 
KEAMANAN PANGAN
 
Bagian Pertama Sanitasi Pangan
  
Pasal 4
 (1)    Pemerintah menetapkan persyaratan sanitasi dalam kegiatan atau proses
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan.
 (2)    Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan persyaratan
minimall yang wajib dipenuhi dan ditetapkan serta diterapkan secara
bertahap dengan memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.
 
Pasal 5
 (1)    Sarana dan atau prasarana yang digunakan secara  langsung atau tidak
langsung dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengakutan,
dan atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi.
 
(2)     Penyelenggaraan  kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan dan atau peredaran pangan  serta serta penggunaan dan
prasarana, sebagai dimaksud pada ayat  (1), dilakukan sesuai dengan
persyaratan sanitasi.
 
Pasal 6
 Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan atau proses
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan wajib :
 
a.       memenuhi  persyaratan  sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan
manusia;
 
b.      meneyelenggarakan program pemantauan sanitasi secara berkala; dan
 
c.      menyelenggarakan pengwasan atas pemenuhan persayaratan sanitasi.
 
 Pasal 7
 Orang perseorangan yang menangani secara langsung, dan atau berada langsung
dalam lingkungan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan
atau peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi.
 
 Pasal 8 
Setiap orang dilarang menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang
tidak memenuhi persayaratan sanitasi.
 
Pasal 9 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal, 6, dan Pasal 7
ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 
 
Bagian Kedua
 
Bahan Tambahan Pangan
 
 
Pasal 10
 
(1)    Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang
menggunakan barang apapun sebagai bahan tambahan pangan yang
dinyatakan terlarang atau melampaui ambang batas maksimal yang
ditetapkan.
 
(2)    Pemerintah menetapkan lebih lanjut bahan yang dilarang dan atau dapat
digunakan sebagai bahan tambahan pangan dalam kegiatan atau proses
produksi pangan serta ambang batas maksimal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
 
Pasal 11
 
Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi belum
diketahui dampaknya bagi kesehatan masnusia, wajib terlebih dahulu diperiksa
keamanannya, dan penggunaannya dalam kegiatan atau proses produksi
pangan untuk diedarkan dilakukan setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.
 
 
Pasal 12
 
Ketentuan sebagaimana domaksud dalam Pasal 10, dan pasal 11 ditetapkan
lebih lanjut dengan Peraturan  Pemerintah.
 
 
Bagian Ketiga
 
Rekayasa Genetika dan 
 
Iradiasi Pangan
 
Pasal 13
 
(1)    Setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku,
bahan tambahan pangan, dan atau bahan Bantu lain dalam kegiatan atau
proses produksi pangan yang dihasilkan  dari proses rekayasa genetika
wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan
manusia sebelum diedarkan.
 
(2)    Pemerintah menetapkan persyaratan dan prisnsip penelitian,
pengambangan, dan pemanfaatan metode rekayasa genetika dalam
kegiatan atau proses produksi pangan serta menetapkan persyaratan bagi
pengujian pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika.
 
 
Pasal 14
 
(1)    Iradiasi dalam kegiatan atau proses produksi pangan dilakukan
berdasarkan atas izin Pemerintah.
 
(2)    Proses perizinan penyelenggaraan kegiatan atau proses produksi pangan
yang dilakukan dengan menggunakan teknik dan atau metode iradiasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi persyaratan
kesehatan, penanganan limbah dan penanggulangan bahaya bahan radio
aktif untuk menjamin keamanan pangan, keselamatan kerja dan kelestarian
lingkungan.
 
Pasal 15
 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan Pasal 14 ditetapkan lebih
lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
 
Bagian Keempat
 
Kemasan Pangan 
 
 
Pasal 16
  
(1)    Setiap yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan
bahan apa pun  sebagai  kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan
atau yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau
membahayakan kesehatan manusia.
 
(2)    Pengemasan pangan yang diedarkan dilakukan melalui tata cara yang
dapat menghindarkan terjadinya kerusakan dan atau pencemaran.
 
(3)    Pemerintah menetapkan bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan
pangan dan tata cara pengemasan pangan tertentu yang diperdagangkan.
 
 
Pasal 17
 
Bahan yang akan digunakan sebagai kemasan pangan, tetapi belum diketahui
dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diteriksa
keamanannya, dan penggunaannya bagi pangan yang diedarkan dilakukan
setelah memperoleh persetujuan Pemerintah.
 
 
Pasal 18
 
(1)    Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas
kembali dan diperdagangkan
 
(2)    Ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah besar dan lazim
dikemas kembali dalam jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.
 
Pasal 19
 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, Pasal 17, dan Pasal 18
ditetapkan lebih lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
 
Bagian Kelima
 
Jaminan Mutu  Pangan dan
 
Pemeriksaan Laboratorium 
 
 Pasal 20 
 
(1)    Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan wajib
menyelenggarakan sistem jaminan mutu, sesuai dengan jenis pangan yang
diproduksi.
 
(2)    Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan,  pemerintah dapat
menetapkan  persyaratan agar pangan tersebut terlebih dahulu diuji secara
laboratoris sebelum peredarannya.
 
(3)    Pengujian secara laborattoris, sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan atau telah memperoleh
akreditasi dari Pemerintah.
 
(4)    Sistem jaminan mutu serta persyaratan pengujian secara laboratories,
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), ditetapkan dan 
diterapkan secara bertahap  dengan memperhatikan kesiapan dan
kebutuhan sistem pangan.
 
(5)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
ditetapkan lebih lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
 
Bagian Keenam
 
Pangan Tercemar 
 
 Pasal 21
 
Setiap orang dilarang mengedarkan :
 
a.       pangan  yang  mengandung  bahan  beracun, berbahaya atau yang dapat
merugikan dan membahayakan  kesehatan atau jiwa manusia;
 
b.      pangan yang mengandung cemaran yang melampaui ambang batas
maksimal yang ditetapkan;
 
c.      pangan yang mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan
atau proses produksi pangan;
 
d.      pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai, atau
mengandung bahan nabati atau hewani yang berpenyakit atau berasal dari
bangkai sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi manusia;
 
e.      pangan yang sudah kedaluwarsa.
 
 
Pasal 22
 
Untuk mengawasi dan mencegah tercemarnya pangan,  Pemerintah :
 
a.      mentepkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses
produksi pangan serta ambang batas masimal cemaran yang
diperbolehkan;
 
b.       mengatur  atau  menetapkan  persyaratan bagi penggunaan cara, metode,
dan atau bahan tertentu dalam kegiatan atau proses produksi, pengolahan,
penyimpanan, pengangkutan, dan  atau peredaran pangan yang dapat
memiliki risiko yang merugikan dan atau membayakan kesehatan manusia;
 
c.      mentepkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi peralatan
pengolahan, penyiapan, pemasaran, dan atau penyajian pangan.
 
Pasal 23
 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, dan Pasal 22 ditetapkan
lebih lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
 
 
BAB  III
 
MUTU DAN GIZI PANGAN
 
Bagian Pertama Mutu Pangan
 
  
Pasal 24
 
(1)    Pemerintah mentepkan standar mutu pangan.
 
(2)    Terhadap pangan tertentu yang diperdagangkan, Pemerintah dapat
memberlakukan dan mewajibkan  pemenuhan standar mutu pangan yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
 
Pasal 25
 
(1)     Pemerintah  mentepkan  persyaratan sertifikasi mutu pangan yang
diperdagangkan.
 
(2)    Persyaratan sertifikasi mutu pangan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
diterapkan secara bertahap  berdasarkan jenis pangan dengan
memperhatikan kesiapan dan kebutuhan sistem pangan.
 
Pasal 26
 
Setiap orang dilarang memperdagangkan :
 
a.      pangan tertentu, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2), apabila
tidak memenuhi standar mutu yang ditetapkan sesuai dengan
peruntukannya;
 
b.      pangan yang mutu berbeda atau tidak sama dengan  mutu pangan yang
dijanjikan;
 
c.      pangan yang tidak memenuhi  persyaratan sertifikasi mutu pangan,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
 
 
Bagian Kedua Gizi Pangan
 
Pasal 27
 
(1)    Pemerintah mentepkan dan menyelenggarakan kebijakan di bidang gizi
bagi perbaikan status gizi masyarakat.
 
(2)    Untuk meningkatkan kandungan  gizi pangan olahan tertentu yang
diperdagangkan, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan khusus
mengenai komposisi pangan.
 
(3)    Dalam hal terjadi kekurangan dan atau penurunan status gizi masyarakat,
Pemerintah dapat menetapkan persyaratan bagi perbaikan atau pengayaan
gizi pangan tertentu yang diedarkan.
 
(4)    Setiap orang yang memproduksi pangan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan ayat (3), wajib memenuhi persyaratan tentang gizi yang
ditetapkan.
 
 
Pasal 28
 
(1)    Setiap orang yang memproduksi pangan olahan tertentu untuk
diperdagangkan wajib menyelenggarakan tata cara pengolahan pangan
yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi
bahan baku pangan yang digunakan.
 
(2)    Pangan olahan tertentu serta tata cara pengolahan pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diatur lebih lanjut oleh Pemerintah.
 
 
Pasal 29
 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal
27, dan Pasal 28 ditetapkan lebih lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
 
BAB IV
LABEL DAN IKLAN PANGAN
 
Pasal 30
 
(1).   Setiap orang yang memproduksi atau memasukan ke dalam wilayah
Indonesia pangan yang dikemas untuk diperdagangkan wajib mencantumkan
label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan.
(2).   Label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), memuat sekurang-kurangnya
keterangan mengenai:
a.      nama produk;
b.      daftar bahan yang digunakan;
c.      berat bersih atau isi bersih;
d.      nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan
ke dalam wilayah Indonesia;
e.      keterangan tentang halal; dan
f.        tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa
(3)    Selain keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemerintah dapat
menetapkan keterangan lain yang wajib atau dilarang untuk dicantumkan pada
label
  
 
Pasal 31
 
(1)    Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, ditulis
atau dicetak atau ditampilkan secara tegas dan jelas sehingga dapat mudah
dimengerti oleh masyarakat
 
(2)    Keterangan pada label, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditulis atau
dicetak dengan menggunakan bahasa Indonesia, angka Arab, dan huruf latin
 
(3)    Penggunaan istilah asing, selain sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
dapat dilakukan sepanjang tidak ada padanannya, tidak dapat diciptakan
padanannya, atau digunakan untuk kepentingan perdagangan pangan ke luar
negeri
 
Pasal 32
 
Setiap orang dilarang mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal, bulan,
dan tahun kedaluwarsa pangan yang diedarkan
 
Pasal 33
 
(1)    Setiap label dan atau iklan tentang pangan yang diperdagangkan harus
memuat keterangan mengenai pangan dengan benar dan tidak menyesatkan
 
(2)    Setiap orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan tentang
pangan yang diperdagangkan melalui, dalam, dan atau dengan label atau iklan
apabila keterangan atau pernyataan tersebut tidak benar dan atau menyesatkan
 
(3)    pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan tindakan yang
diperlukan agar iklan tentang pangan yang diperdagangkan tidak memuat
keterangan yang dapat menyesatkan.
 
Pasal 34
 
(1)    Setiap orang yang menyatakan dalam table atau iklan bahwa pangan yang
diperdagangkan adalah sesuai dengan persyaratan agama atau kepercayaan
tertentu bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan berdasarkan
persyaratan  agama atau kepercayaan tersebut.
 
(2)    label tentang pangan olahan tertentu yang diperdagangkan untuk bayi,
anak berumur di bahwa lima tahun, dan ibu  yang  sedang hamil atau menyusui
wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan atau
keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak pangan terhadap
kesehatan manusia.
 
Pasal 35
 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 33, dan
Pasal 34 ditetapkan lebih lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
 
BAB  V
 
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN
 
KE DALAM DAN DARI WILAYAH INDONESIA
 
 
Pasal 36
 
(1)    Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Udang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
 
(2)    Setiap orang dilarang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia
dan atau mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang dimasukkan ke
dalam wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini dan peraturan
pelaksanaannya.
 
 
Pasal 37
 
Terhadap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia, sebagaimana
dimaksud  dalam pasal 36, pemerintah dapat menetapkan persyaratan bahwa :
 
a.      pangan telah diuji dan atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi
keamanan, mutu, dan atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal;
 
b.      pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan atau
pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada hruf a; dan atau 
 
c.      pangan terlebih dahulu diuji dan atau  diperiksa di Indonesia dari segi
keamanan, mutu, dan atau gizi sebelum peredarannya.
 
Pasal 38
 
Setiap orang yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diedarkan bertanggung jawab atas keamanan, mutu, dan gizi pangan.
 
 
Pasal 39
 
Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar pangan yang dikeluarkan dari
wilayah Indonesia untuk diedarkan terlebih dahulu diuji dan atau diperiksa dari
segi keamanan, mutu, persyaratan label, dan atau gizi pangan.
 
Pasal 40
 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, Pasal 38, dan Pasal 39
ditetapkan lebih lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
 
BAB   VI
 
TANGGUNG JAWAB INDUSTRI PANGAN
 
Pasal  41
 
(1)    Badan usaha yang memproduksi pangan olahan untuk diedarkan  dan atau
orang perorangan dalam badan usaha yang diberi tanggung jawab terhadap
jalannya usaha tersebut bertanggung jawab atas keamanan dengan yang
diproduksinya terhadap kesehatan orang lain yang mengkonsumsi pangan
tersebut.
 
(2)    Orang perseorangan  yang kesehatannya terganggu atau ahli waris dari
orang yang meninggal sebagai akibat langsung karena mengkonsumsi pangan
olahan yang diedarkan berhak mengajukan gugatan ganti rugi terhadap badan
usaha dan atau orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana
termaksud pada ayat (1).
 
(3)    Dalam hal terbukti bahwa pangan olahan yang diedarkan dan dikonsumsi
tersebut mengandung bahan yang dapat merugikan dan atau membayakan
kesehatan manusia atau bahan lain yang dilarang, maka badan usaha dan atau
orang perseorangan dalam badan usaha, sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
wajib mengganti segala kerugian yang secara nyata ditimbulkan.
 
(4)    Selain ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dalam badan usaha
dan atau orang perseorangan dalam badan usaha dapat membuktikan bahwa
hal tersebut bukan diakibatkan kesalahan atau kelalaiannya, maka badan usaha
dan atau orang perseorangan dalam badan usaha tidak wajib mengganti
kerugian.
 
(5)    Besarnya ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (3), setinggi-tingginya sebesar Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) untuk setiap orang
yang dirugikan kesehatannya atau kematian yang ditimbulkan.
 
Pasal  42
 
Dalam hal pihak sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (1) tidak diketahui
atau tidak berdomisili di Indonesia, ketentuan dalam pasal 41 ayat (3) dan ayat
(5) diberlakukan terhadap orang yang mengedarkan dan atau dimasukkan
pangan ke dalam wilayah Indonesia.
 
Pasal  43
 
(1)    Dalam hal kerugian yang ditimbulkan melibatkan jumlah kerugian materi
yang besar dan atau korban yang tidak sedikit,  Pemerintah berwenang
mengajukan gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 41 ayat (2)
 
(2)    Gugatan ganti rugi, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diajukan untuk
kepentingan orang yang mengalami kerugian atau musibah.
 
Pasal  44
 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, dan Pasal 43 ditetapkan
lebih lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
BAB  VII
 
KETAHANAN PANGAN
 
 
Pasal  45
 
(1)    Pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan
ketahanan pangan.
 
(2)    Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan, sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), Pemerintah menyelenggarakan pengaturan, pembinaan,
pengendalian, dan pengawasan terhadap ketersediaan pangan yang cukup dan
baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau
oleh daya beli masyarakat.
 
Pasal  46
 
Dalam pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 45,
Pemerintah:
 
a.      menyelenggarakan, membina, dan atau mengkoordinasikan segala upaya
atau kegiatan untuk mewujudkan cadangan pangan nasional;
 
b.      menyelenggarakan, mengatur, dan atau mengkoordinasikan segala upaya
atau kegiatan dalam rangka penyediaan, pengadaan, dan atau penyaluran
pangan tertentu yang bersifat pokok;
 
c.      menetapkan dan menyelenggarakan kebijakan mutu pangan nasional dan
penganekaragaman pangan;
 
d.      mengambil tindakan yang diperlukan untuk mencegah dan atau
menanggulangi gejala kekurangan pangan, keadaan darurat, dan atau spekulasi
atau manipulasi dalam pengadaan dan peredaran pangan.
 
Pasal  47
 
(1)    Cadangan pangan nasional, sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 huruf
a, terdiri atas :
 
         a.  cadangan pangan Pemerintah
 
         b.  cadangan pangan masyarakat     
 
 
(2)    Cadangan pangan Pemerintah ditetapkan secara berkala dengan
memperhitungkan tingkat kebutuhan nyata pangan masyarakat dan ketersediaan
pangan, serta dengan mengantisipasi terjadinya kekurangan pangan dan atau
keadan darurat.
 
(3)    Dalam upaya mewujudkan cadangan pangan nasional, sebagaimana
dimaksud pada ayat (1),  Pemerintah  :
 
a.      mengembangkan, membina, dan atau membantu
penyelenggaraan cadangan pangan masyarakat dan pemerintah di
tingkat pedesaan, perkotaan, propinsi, dan nasional;
 
b.      mengembangkan, menunjang, dan memberikan kesempatan
seluas-luasnya bagi peran koperasi dan swasta dalam mewujudkan
cadangan pangan setempat dan atau nasional.
 
Pasal  48
 
Untuk mencegah dan atau menanggulangi gejolak harga pangan tertentu yang
dapat merugikan ketahanan pangan, pemerintah mengambil tindakan yang
diperlukan dalam rangka mengendalikan harga pangan tersebut.
 
 Pasal  49
 
(1)    Pemerintah melaksanakan pembinaan yang meliputi :
 
a.      pengembangan sumber daya manusia di bidang pangan melalui
kegiatan pendidikan dan pelatihan, terutama usaha kecil;
b.      untuk mendorong dan meningkatkan peran serta masyarakat
dalam kegiatan pengembangan sumber daya manusia, peningkatan
kemampuan usaha kecil, penyuluhan di bidang pangan, serta
penganekaragaman pangan;
c.      untuk mendorong dan mengarahkan peran serta masyarakat dan
organisasi profesi di bidang pangan;
d.      untuk mendorong dan menunjang kegiatan penelitian dan atau
pengembangan teknologi di bidang pangan;
e.      penyebarluasan pengetahuan dan penyuluhan di bidang pangan;
f.       pembinaan kerja sama internasional di bidang pangan sesuai
dengan kepetingan nasional;
g.      untuk mendorong dan meningkatkan kegiatan
penganekaragaman pangan yang dikonsumsi masyarakat serta
pemantapan mutu pangan nasional.
 
(2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh
pemerintah.
 
Pasal  50
 
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47. pasal 48
dan Pasal 49 ditetapkan lebih lanjut dengan  Peraturan  Pemerintah.
 
 
BAB   VIII
 
PERAN SERTA MASYARAKAT
 
Pasal  51
 
Masyarakat memiliki kesempatan untuk berperan seluas-luasanya dalam
mewujudkan perlindungan bagi orang perseorangan yang mengkonsumsi
pangan, sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini dan peraturan
pelasaksanaannya serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku
Pasal 52
 
Dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan sistem pangan masyarakat
dapat menyampaikan permasalahan, masukan dan atau dara pemecahan
mengenai hal-hal di bidang pangan
 
BAB  IX
 
PENGAWASAN
 
Pasal 53
 
(1)   Untuk mengawasi pemenuhan ketentuan Undang-Undang ini, Pemerintah
berwenang melakukan pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya
pelanggaran hokum di bidang pangan;
(2)   Dalam melaksanakan fungsi pemerksaan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), pemerintah berwenang:
a.      memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan
atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan
perdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti dan mengambil
contoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam
kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan atau
perdagangan pangan;
b.      menghentikan, memeriksa dan mencegah setiap sarana angkutan
yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan
pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan;
c.      membuka dan meneliti setiap kemasan pangan
d.      memeriksa setiap buku, dokumen atau catatan lain yang diduga
memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan,
pengangkutan dan atau perdagangan pangan, termasuk
menggandakan atau mengutip keterangan tersebut;
e.      memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau dokumen
lain sejenis.
(3)   Pejabat pemeriksa untuk melakukan pemeriksaan, sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), dilengkapi dengan surat perintah;
(4)   Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan, sebagaimana dimaksud pada
ayat (2), patut diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segera
dilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(5)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)
ditetapkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
 
Pasal 54
 
(1)   Dalam melaksanakan fungsi pengawasan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 53, Pemerintah berwenang mengambil tindakan administratife
terhadap pelanggaran ketentuan Undang-undang ini.
(2)   Tindakan administratife, sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
berupa:
a.      peringatan secara tertulis
b.      larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan atau perintah
untuk menarik produk pangan dari peredaran apabila terdapat
risiko tercemarnya pangan atau pangan tidak aman bagi kesehatan
manusia;
c.      Pemusnahan pangan jika terbukti membahayakan kesehatan dan
jiwa manusia;
d.      Penghentian produksi untuk sementara waktu
e.      Pengenaan denda paling tinggi Rp 50.000.000.- (Lima puluh juta
rupiah) dan atau;
f.        Pencabutan izin produksi dan atau izin usaha
(3)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) ditetapkan
lebih lanjut dengan peraturan pemerintah
 
BAB  X
 
KETENTUAN  PIDANA
 
Pasal  55
 
Barangsiapa dengan sengaja:
 
a.      menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak
memenuhi sanitasi sebagaimana termaksud dalam pasal 8;
b.      menggunakan barang yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan
pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara melampaui
ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 10 ayat (1)
c.      menggunakan barang yang dilarang digunakan sebagai kemasan pangan
dan atau bahan apapun yang dapat melepaskan cemaran yang
merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16 ayat (1);
d.      pasal 21 mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan,
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf d atau huruf e;
e.      memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi standar mutu yang
dimaksudkan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf a;
f.        memperdagangkan pangan yang mutunya berbeda atau tidak sama
dengan mutu pangan yang dijanjikan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 26 huruf b;
g.      memperdagangkan pangan yang tidak memenuhi persyaratan sertifikasi
mutu pangan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 huruf c;
h.      mengganti, melabel kembali, atau menukar tanggal, bulan, dan tahun
kedaluawarsa, pangan yang di edarkan, sebagaimana yang dimaksud
dalam pasal 32; di pidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan
atau denda paling banyak Rp 600.000.000.- (Enam ratus juta rupiah)
 
 
Pasal  56
 
Barang karena kelaliannya :
 
a.          menyelenggarakan kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak
memenuhi sanitasi sebagaimana termaksud dalam pasal 8;
b.          menggunakan barang yang dilarang digunakan sebagai bahan
tambahan pangan atau menggunakan bahan tambahan pangan secara
melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan, sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 10 ayat (1);
c.           menggunakan barang yang dilarang digunakan sebagai kemasan
pangan dan atau bahan apapun yang dapat melepaskan cemaran yang
merugikan atau membahayakan kesehatan manusia, sebagaimana
dimaksud dalam pasal 16 ayat (1);
d.          pasal 21 mengedarkan pangan yang dilarang untuk diedarkan,
sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf d atau huruf e; di
pidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan atau denda
paling banyak Rp 120.000.000.- (seratus dua puluh juta rupiah).
 
Pasal  57
 
 
Ancaman pidana atas pengalanggaran, sebagaimana dimaksud dalam pasal 55
huruf a, huruf b, huruf c,  dan huruf d serta pasal 56, ditambah seperempat
apabila menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia atau ditambah
sepertiga apa bila menimbulkan kematian.
 
Pasal  58
 
Barangsiapa:
a.       menggunakan suatu bahan sebagai bahan tambahan pangan dan
mengedarkan pangan tersebut secara bertentangan dengan ketentuan
dalam pasal 11; 
b.      mengedarkan pangan yang diproduksi atau menggunakan bahan baku,
bahan tambahan pangan, dan atau bahan Bantu lain dalam kegiatan
atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa
genetika, tanpa lebih dahulu memeriksakan keamanan pangan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (1);
c.       menggunakan iradiasi dalam kegiatan dalam proses produksi pangan
tanpa izin, sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1);
d.       menggunakan suatu bahan sebagai kemasan pangan untuk diedarkan
secara bertentangan ketentuan dalam pasal 17;
e.       membuka kemasan akhir pangan untuk dikemas kembali dan
memperdagangkan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat 1;
f.        mengedarkan pangan tertentu yang diperdagangkan tanpa lebih dahulu
di uji secara laboratoris, sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat
(2);
g.      memproduksi pangan tanpa memenuhi persyaratan tentang gizi pangan
yang ditetapkan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 ayat (4);
h.       memproduksi atau memasukkan ke dalam wilayah Indonesia pangan
yang dikemas untuk diperdagangkan tanpa mencantumkan label,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 atau pasal 31;
i.         memberikan keterangan atau pernyataan secara tidak benar atau
menyesatkan mengenai pangan yang diperdagangkan melalui, dalam
dan atau dengan label dan atau iklan, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 33 ayat (2);
j.          memberikan pernyataan atau keterangan yang tidak benar dalam iklan
atau label bahwa pangan yang diperdagangkan adalah sesuai menurut
persyaratan agama atau kepercayaan  tertentu sebagaimana dimaskud
dalam pasal 34 ayat (1);
k.       memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan atau
mengedarkan di dalam wilayah Indonesia pangan yang tidak memenuhi
ketetentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya, 
sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (2);
l.          menghambat kelancaran proses pemeriksaan, sebagaimana dimaksud
dalam pasal 53; dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun
dan atau denda paling banyak Rp 360.000.000.- (Tiga ratus enam puluh
juta rupiah)
 
Pasal  59
 
Barangsiapa:
a.       tidak menyelenggarakan  kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan atau peredaran pangan yang memenuhi persyaratan
sanitasi, keamanan, dan atau keselamatan manusia, atau tidak
menyelenggarakan program  pemantauan sanitasi secara berkala, atau
tidak menyelenggarakan pengawasan atas pemenuhan persyaratan
sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6;
b.       tidak memenuhi persyaratan sanitasi, sebagaimana dimaksud dalam
pasal 7;
c.       tidak melaksanakan tata cara pengemasan pangan yang ditetapkan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (3);
d.       tidak menyelenggarakan sistem jaminan mutu, yang ditetapkan dalam
kegiatan atau proses produksi pangan untuk diperdagangkan,
sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (1);
e.       tidak memuat keterangan yang  wajib dicantumkan pada label
sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (2); meskipun telah
diperingatkan secara tertulis oleh  pemerintah, dipidana dengan pidana
penjara paling lama 4 tahun dan atau denda paling banyak Rp
480.000.000.- (Empat ratus delapan puluh juta rupiah);
 
BAB  XI
 
PENYERAHAN URUSAN DAN TUGAS PEMBANTUAN
 
Pasal 60
 
(1)         Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan dibidang pangan kepada
pemerintah daerah, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku
(2)          Pemerintah dapat menugaskan pemerintah daerah untuk melaksanakan
tugas pembantuan di bidang pangan
(3)          Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah
 
BAB  XII
 
KETENTUAN LAIN-LAIN
 
Pasal  61
 
(1)         Dalam hal terjadi keadaan kekurangan pangan yang sangat mendesak,
pemerintah dapat mengemsampingkan untuk sementara waktu ketentuan
Undang-Undang ini tentang persyaratan keamanan pangan, label, mutu,
dan atau persyaratan gizi pangan
(2)         Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan
tetap memperhatikan keselamatan dan terjaminnya kesehatan masyarakat
 
Pasal  62
 
Bilamana dipandang perlu, Pemerintah dapat menunjuk instansi untuk
mengkoordinasikan terlaksananya Undang-Undang ini.
 
Pasal  63
 
Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya tidak berlaku bagi pangan
yang diproduksi dan dikonsumsi oleh kalangan rumah tangga.
 
 
BAB  XIII
 
KETENTUAN PERALIHAN
 
Pasal  64
 
Pada saat mulai berlakunya Undang-Undang ini, semua peraturan perundang-undangan tentang pangan yang telah ada dinyatakan tetap berlaku sepanjang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini
 
BAB  XIV
 
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal  65
 
Undang-Undang ini berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan menempatkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia
 
 
Diterbitkan di Jakarta
Pada tanggal 4 November 1996
 
Presiden Republik Indonesia
 
 

Sabtu, 11 Februari 2012

Peluang Dana Penelitian Skripsi S1 ” INDOFOOD RISET NUGRAHA”


Bagi seluruh mahasiswa S1Teknologi Pangan Unimus:
“INGAT BATAS WAKTU TANGGAL 16 APRIL 2012”

TEMA :
MENUJU PENGANEKA RAGAMAN PANGAN BERBASIS KEARIFAN LOKAL MELALUI PENGEMBANGAN TEPUNG PATI
CAKUPAN PENELITIAN :
-          Bidang teknologi pangan dan Gizi Masyarakat
-          Bidang Sosial Ekonomi dan Budaya
-          Bidang Budidaya Pertanian
-          Bidang Peternakan
FOKUS PENELITIAN :
  1. Gandum/Terigu (triticum Sp)
  2. Jagung (Zea Mays)
  3. Ubi Jalar (Ipomoea Sp.)
  4. Pisang (Musa Sp.)
  5. Singkong (Manihot Sp.)
  6. Kelapa Sawit (Elaeis Sp.)
  7. Garut (mantana Sp.) &  ganyong (Cana Edulis Kerr)
  8. Kentang (Solanum Sp.)
  9. Kedelai (Glycine SP)
  10. Susu (milk)
PESERTA :
Mahasiswa S1 Perorangan ( Dalam rangka Tugas akhir/Skripsi)
BATAS WAKTU :
Batas Akhir Penerimaan Proposal tanggal 16 April 2012 (cap pos)
PERSYARATAN :
  1. Proposal yang di ajkuan harus dalam rangka menyelesaikan tugas akhir/Skripsi dan melampirkan Transkrip Nilai terakhir
  2. Jangka waktu penelitian pailing lama 1 Tahun
  3. Penelitian dilakukan dalam Wilayah Republik Indonesia.
  4. Menyertakan Riwayat hidup lengkap peneliti dan Dosen Pembimbing yaitu : Nama, NPM/NIM, Jenis Kelamin, Alamat Lengkap, No.Telp/Hp, fax dan  email.
  5. Setiap Proposal disertai Surat Keterangan dari PD 3 dan PR 3

Minggu, 05 Februari 2012

ISOFLAVON SENYAWA PENCEGAH MENOPOUSE DAN KANGKER PAYUDARA


oleh : Hadi Sutrisno
Isoflavon adalah salah satu senyawa yang termasuk golongan flavonoid dan merupakan bagian terbesar dalam golongan tersebut. Isoflavon yang ditemukan pada Leguminoceae berjumlah cukup besar yaitu sekitar 0,25%. Sebanyak 99% isoflavon pada kedelai berupa glikosida dan terdiri dari 64% genistin, 23% daidzin, dan 13% glisitin 7-0- B-glikosida (Naimetal., 1974).
Beberapa penelitian rnenunjukkan bahwa isoflavon kedelai dapat rnengurangi resiko osteoporosis (Messina,1999a). lsoflavon rnemiliki struktur kimia yang sangat mirip dengan hormon estrogen dan obat osteoporosis ipriflavon yang rnerupakan isoflavon sintetis. Estrogen dan ipriflavon telah diketahui dapat rnelindungi densitas mineral tulang wanita postrnenopouse.
 Peranan isoflavon dalam membantu menurunkan osteoporosis juga telah diteliti. Konsumsi protein kedelai dengan isoflavon telah terbukti dapat mencegah kerapuhan tulang pada tikus yang digunakan sebagai model untuk penelitian osteoporosis. Studi yang lain menunjukkan hasil yang sama pada saat menggunakan genistein saja. Ipriflavone, obat yang dimetabolisme menjadi daidzein telah terbukti dapat menghambat kehilangan kalsium melalui urine pada wanita post monopouse.
Produk kedelai yang mengandung isoflavon dapat membantu pengobatan simptom monopouse. Pada wanita yang memproduksi sedikit estrogen, isoflavon (phitoestrogen) dapat menghasilkan cukup aktivitas estrogen untuk mengatasi symptom akibat monopouse, misalnya hot flashes. Suatu penelitian menunjukkan bahwa wanita yang mengkonsumsi 48 gram tepung kedelai per hari mengalami gejala hot flashes 40 % lebih rendah. Dari segi epidemologi, wanita Jepang yang konsumsi isoflavonnya tinggi jarang dijumpai simptom post monopousal.
Wanita akan melalui masa puber, tahun-tahun reproduksi dan akhirnya menopause. Menopause merupakan proses penuaan yang alami akibat turunnya kandungan estrogen, dan terjadi pada tingkat ketika wanita berhenti evolusi dan menstruasi. Banyak wanita melalui masa transisi ini tanpa mengalami ketidaknyamanan, akan tetapi ada juga sejumlah wanita mengalami gejala-gejala yang tidak mengenakkan dan memerlukan dukungan. Menopause juga meningkatkan resiko penyakit jantung dan osteoporosis. Masa-masa pre-menopause dapat terjadi antara umur 45 ke 55 tahun, meskipun dapat terjadi juga diusia 40 tahun.
Menopause terjadi akibat turunnya level estrogen. Terdapat dua jenis hormon pada wanita yaitu Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Leteinizing Hormone (LH) yang diperlukan dan penting untuk perkembangan reproduksi yang normal, dan bersama-sama membantu produksiestrogen pada wanita. LH menstimulir produksi endrogen (suatu prekursor estrogen), sedangkan FSH menstimulasi perkembangan follikuler dan aktivitas enzim aromatase. Aromatase adalah enzim yang dapat merubah endrogen menjadi estrogen. Selama menopause berkurangnya suplai follikel menyebabkan hormon LH dan FSH yang tidak digunakan meningkat, yang membuat kadar estrogen menurun dan menghentikan proses mentruasi.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa wanita Asia tidak menderita terlalu berlebihan akibat simptom menopause dan lebih sedikit menderita penyakit degeneratif kronis yang disebabkan menopause. Kebiasaan makan orang Asia menyebabkan adanya perbedaan ini, khususnya konsumsi kedelai dan produk-produk kedelai.
Isoflavon yang terdapat dalam kedelai, terbukti dapat meniru peranan dari hormon wanita yaitu estrogen. Estrogen berikatan dengan reseptor estrogen sebagai bagian dari aktivitas hormonal, menyebabkan serangkaian reaksi yang menguntungkan tubuh. Pada saat kadar hormon estrogen menurun, akan terdapat banyak kelebihan reseptor estrogen yang tidak terikat, walaupun afinitasnya tidak sebesar estrogen, isoflavon yang merupakan phitoestrogen dapat juga berikatan dengan reseptor tersebut. Jika tubuh mengkonsumsi isoflavon, misalnya dengan mengkonsumsi produk-produk kedelai, maka akan tejadi pengaruh pengikatan isoflavon dengan reseptor estrogen yang menghasilkan efek menguntungkan, sehingga mengurangi simptom menopause.
Kemampuan lain dari isoflavon adalah dapat menutupi atau memblokir efek potensial yang merugikan akibat produksi estrogen yang berlebihan dalam tubuh. Isoflavon dapat berfungsi sebagai estrogen selektif dalam pengobatan, menghasilkan efek menguntungkan (sebagai anti kanker dan menghambat atherosklerosis) tetapi tidak menimbulkan resiko (meningkatkan resiko kanker payudara dan endometrial) yang biasa dihubungkan dengan terapi pengganti hormon yang biasa dilakukan. Berdasarkan hal-hal diatas, isoflavon diduga mempunyai fungsi ganda terhadap menopause :
Anti estrogenic effect pada saat hormon estrogen berlebihan, yang dapat menurunkan resiko kanker payudara pada pre-menopausal woman.
- Efek estrogenik pada saat estrogen alami berkurang jumlahnya, yang menguntungkan dalam mencegah penyakit kardiovaskuler, osteoporosis dan sistem vesomotor pada wanita pre- dan post-menopausal.

DAFTAR PUSTAKA
1.      Koswara,Sutrisno.2006. Isoflavon, Senyawa Multi-Manfaat dalam kedelai.Ebookpangan.
2.      Samsu Udayana Nurdin, Oeddy Muchtadi , Ita Ojuwita , Suyanto Pawiroharsono.2002. Tahu Menghambat Kehilangan Tulang Lembur Tikus Betina Ovariektomi. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan, Vol. KIII, No.3.Universitas Lampung

PENGAMATAN STRUKTUR FISIK TELUR


Wahyu Imam Santoso
G2D.010.006

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Telur merupakan bahan pangan dengan struktur fisik yang khas. Telur tersusun dari kulit, kantung udara  dan isi yang terdiri dari putih telur dan kuning telur.  Kulit telur mempunyai tekstur yang kaku dan cukup kuat untuk melindungi isi telur dari pengaruh luar.
Selain itu telur juga merupakan bahari pangan hasil ternak unggas yang mempunyai nilai tinggi, karena telur mengandung protein yang cukup tinggi dengan susunan asam-asam amino yang komplit dan seimbang. Selain itu mengandung lemak tak jenuh, semua vitamin dan mineral yang diperlukan tubuh serta daya cernanya cukup  tinggi. Tetapi  sayangnya telur ini mempunyai sifat mudah rusak. Hal ini disebabkan karena telur mudah retak dan pecah.
Oleh karena itu perlu dilakukan penanganan yang memadai mulai dari pengambilan telur dari kandang, membersihkan kulitnya, memilih telur yang baik  sampai pengepakannya sehingga siap untuk dipasarkan. Dengan penampilan yang
baik akan dapat memberikan nilai tambah dengan harga jual yang tinggi. Mutu telur utuh ditentukan berdasarkan kondisi telur (kebersihan, kerentaan, bentuk dan tekstur atau kekerasan), kantung udara (kedalaman, volume dan posisi) serta isi telur (kejernihan atau kebersihan dan ketegaran). Penentuan mutu telur dapat ditentukan secara subjektif dengan menngunakan candling maupun objektif dengan cara mengukur kedalaman kantung udara, indeks putih telur, indeks kuning telur, nilai Z dan unit haugh.
Ciri telur yang baik dapat dilihat dari bentuk luarnya, antara lain:
·            Bentuk telur harus normal, yaitu bulat telur,
·            Telur dalam keadaan bersih,
·            Kulit telur rata,
·            Isi dalam telur tidak berbunyi jika digoncang,
·            Telur tidak cacat atau retak. Untuk mengetahui kondisi telur retak atau tidak, dengan mengamati ada atau tidaknya garis putih pada permukaan kulit telur. Bila ada garis putih, maka menunjukkan bahwa telur tersebut retak.


Untuk mengetahui lebih lanjut kualitas atau mutu telur atau kesegaran telur, dapat dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Meneropong telur
Dapat menggunakan sinar matahari atau lampu pijar. Untuk  meneropong telur, maka bagian ujung telur yang lebih besar ditempelkan pada lampu, karena rongga udara telur terletak pada bagian tersebut. Pada saat meneropong telur akan terlihat bagian dari: rongga udara telur, putih telur dan kuning telurnya.

Telur yang masih segar/ baru akan terlihat :
  • rongga udara (ada di ujung telur) kecil, semakin kecil semakin bagus.
  • kulit telur mulus, pori-pori kerabang kecil.
  • tidak ada noda di dalam isi telur.
  • kuning telur di tengah, tidak bebas bergerak.

Makin dalam rongga udara yang terbentuk, menunjukkan bahwa umur telur makin lama. Hal ini dikarenakan adanya proses penguapan, sehingga makin lama umur telur maka penguapan makin banyak sehingga rongga udara makin dalam / makin bertambah.

2. Merendam telur dalam air
Cara lain untuk mengetahui kesegaran atau kualitas telur adalah dengan merendam telur itu, yaitu:
  • Sediakan gelas transparan dengan dasar gelas bergaris tengah agak lebar. Isilah gelas dengan air secukupnya.
  • Masukkan telur ke dalamnya, amati posisi telur setelah sampai di dasar.
  • Bila posisi telur terbaring sempurna di dasar gelas (tenggelam), maka menunjukkan bahwa usia telur masih sangat baru.
  • Bila sebagian telur berdiri (melayang), menunjukkan telur sudah agak lama (diperkirakan umur satu minggu.
  • Bila telur berdiri tegak (mengapung), menunjukkan umur telur sudah lama (antara 2 - 3 minggu).

3. Memecahkan telur
Usia telur juga bisa dilihat bila kita memecahkan telur di atas piring, kemudian amati:
·       Telur yang masih baru, bila dipecahkan, bagian putihnya terlihat masih kental.
·       Telur dengan usia satu minggu, bagian putihnya lebih melebar.
·       Telur berusia 2 - 3 minggu bagian putihnya jauh lebih luas lagi, karena makin tua usia telur makin encer.

B.     Tujuan dan Manfaat Pengamatan

1.      Tujuan Intruksional Umum
Mahasiswa mampu mengetahui dan membedakan bermacam-macam jenis telur  unggas.

2.      Tujuan Intruksional Khusus
-          Mahasiswa mampu menggambar bentu-bentuk telur
-          Mahasiswa mampu mengukur berat, panjang dan diameter telur
-          Mahasiswa mampu mengamati dan menyebutkan warna kulit telur
-          Mahasiswa mampu melihat keadaan  kulit, posisi dan diameter kantung udara telur utuh dengan cara candling.
-          Mahassiswa mampu mengindentifikasi telur secara fisik meliputi kejernihan, warna, ketegaran blastoderm, membrane vitelin dan kalaza.
-          Mahasiswa mampu melakukan pengukuran secara objektif indeks kuning telur, indeks putih telur  dan unit haugh.


C.     Alokasi Waktu dan Tempat

Pengamatan dilakukan pada hari Jum’at tanggal 3 Februari 2012 bertempat di Laboraturium Ilmu Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyh Semarang

D.    Bahan dan Alat

1.         Bahan yang dilakukan pengamatan adalah telur ayam
2.         Alat yang digunakan untuk  melakukan pengamatan :
-          Timbangan
-          Jangka sorong
-          Lup
-          Cawan petri
-          Gelas beker
-          Sendok





BAB II
PROSEDUR KERJA

A.                CARA KERJA
1.         PENGAMATAN TELUR UTUH
a.    Tiap jenis telur diamati warna, kekasaran permukaan, diameter dan panjang telur serta beratnya.
b.    Pemeriksaan telur utuh dengan candling.
Telur ditempatkan pada alat candling dan lamou dinyalkan. Mengamati keadaan kulit (kebersihan, kerentakan), kantung udara (diameter dan posisinya). Pengamatan dilakukan sambil telur diputar posisinya dan hasil semua pengamatan dicatat.

2.        PENGAMATAN ISI TELUR
a.                   Struktur fisik telur (subjektif)
Telur yang telah diamati secara fisik selanjutnya dipecahkan di atas cawan dan dilakukan pengamatan terhadap lapisan encer dan kentall pada putih telur yang meliputi kejernihan, warna dan ketegaran, blastoderm, membrane vitelina dan kalaza. Selanjutnya kuning teelur dipisahkan dari putih telur. Kuning telur dan putih telur ditimbang dan dihitung prosentasinya terhadap telur utuh. Kulit telur dipisahkan dari membrannya kemudian diukur ketebalannya menggunakan mikrimeter sekrup.
b.              Pemeriksaan objektif
Kuning telur yang telah dipisahkan dari putih telurnya diukur tinggi dan diameternya. Indeks kuning telur dan nilai Z dihitung berdasarkan rumus.
B.            HASIL PENGAMATAN

1.             Pengamatan Telur Utuh
a.    Warna  : dari hasil pengamatan, warna kulit telur tampak cokelat muda dan berbintik-bintik cokelat tua
b.    Berat    : dari hasil penimbangan diperoleh berat telur 50 gram
c.    Diamater : dari hasil pengukuran diperoleh diameter 43,33 mm
d.   Panjang            : dari hasil pengukuran diperoleh panjang 51,66 mm
e.    Kekerasan Permukaan             : kondisi kulit telur keras
f.     Candling          : kondisi permukaan kulit telur masih baik, halus tak berkerak dan padat. Warna cokelat muda dengan kombinasi bintik cokelat tua.
g.    Lain-lain          : ketika telur di goyang / dikocak tidak terdengar siara kocakan dari dalam telur, ketika telur dimasukkan kedalam wadah berisi air telur tenggelam.
2.             Pengamatan Isi Telur
a.     Struktur Fisik Telur (subyektif)
-       Warna putih telur encer masih baik
-       Warna putih telur kental terdapat bercak-bercak merah
-       Kuning telur berwarna kuning, kokoh, posisi agak menepi
-       Kalaza tidak sempurna
-       Berat putih telur 45,7 gram
-       Berat kuning telur 10 gram
-       Tinggi kuning telur 10 mm
-       Tinggi putih telur tebal 6 mm
-       Tebal kulit telur 0,9 mm
b.    Pemeriksaan Obyektif
-       Diameter putih telur tebal 82 mm
-       Diameter kuning telur 36,33 mm
-       Diameter kantung udara 7 mm
-       Tebal kantung udara 3 mm

BAB III
PEMBAHASAN HASIL DAN KESIMPULAN

Dari beberapa data hasil pengamatan yang telah dilakukan, dapat dijelaskan sebagai berikut :
Tahap pertama mengamati ciri telur yang baik dari bentuk luarnya, antara lain:
·       Bentuk telur harus normal, yaitu bulat telur,
·       Telur dalam keadaan bersih,
·       Kulit telur rata,
·       Isi dalam telur tidak berbunyi jika digoncang,
·       Telur tidak cacat atau retak. Untuk mengetahui kondisi telur retak atau tidak, dengan mengamati ada atau tidaknya garis putih pada permukaan kulit telur.
Tahap kedua adalah melakukan peneropongan lampu pijar. Untuk  meneropong telur, maka bagian ujung telur yang lebih besar ditempelkan pada lampu, karena rongga udara telur terletak pada bagian tersebut. Pada saat meneropong telur akan terlihat bagian dari : rongga udara telur, putih telur dan kuning telurnya. Telur yang yang diamati tampak seperti ini :
  • rongga udara (ada di ujung telur) kecil
  • kulit telur mulus, pori-pori kerabang kecil.
  • tidak ada noda di dalam isi telur.
  • kuning telur di tengah, tidak bebas bergerak.
Tahap ketiga, untuk mengetahui kesegaran atau kualitas telur adalah dengan merendam telur itu, yaitu:
  • Menyediakan gelas transparan dengan dasar gelas bergaris tengah agak lebar. Mengisi gelas dengan air secukupnya.
  • Memasukkan telur ke dalamnya, mengamati posisi telur setelah sampai di dasar.
  • Posisi telur terbaring sempurna di dasar gelas (tenggelam), maka menunjukkan bahwa usia telur masih sangat baru.
Tahap keempat, Usia telur juga bisa dilihat bila kita memecahkan telur di atas piring, kemudian mengamati: Telur tergolong masih baru, saat dipecahkan, bagian putihnya terlihat masih kental. Kuning telur masih tampak kokoh tetapi agak menepi.
Dari beberapa penjelasan hasil pengamatan diatas dapat disimpulkan bahwa telur masih dalam keadaan kualitas baik. Penjelasan itu juga didukung dengan data-data hasil pengamatan diatas.